Pagi itu mendung menggelayut, berkejaran di langit karangmenjangan
Iringannya harmonis dengan dua roda yang aku tunggangi
Bergegas, menghindari kebiasaan buruk yang sering aku lakukan
Yang tak jarang membuat aku harus menahan malu sejadi-jadinya: terlambat!
Plateau itu sudah menunggu
Ceceran gagasan dari pemuda-pemudi yang sombong
Yang bangga dengan lalu-lalangnya istilah ilmiah-serapan
Model komunikasi yang jamak diadopsi cendekia muda
“Semakin susah dimengerti, semakin literer”
Begitu kata mereka
Pemuda-pemudi itu sudah berkumpul
Menyatukan hati
memuntahkan seluruh amunisi yang disiapkan rapi dari peraduan
tercecer di lantai plateau, seperti biasa
kadang panas, kadang tenang
kadang lancar, kadang membingungkan
senjata dari ruang sebelah tiba-tiba menyalak
memuntahkan longsongan peluru yang memanaskan plateau
hey, tunggu !
itu caliber yang sama dengan milikku !
aku terhenyak, siapa gerangan dirinya?
Yang menarik pelatuk tadi?
Yang model senjatanya sama dengan milikku?
Aku tak menemukan jawabannya
Seperti kataku tadi
Suara itu berasal dari ruang sebelah
Yang dilindungi sebentang kain
Sepanjang buaya di rawa amazon
Setinggi unta di padang sahara
Sekali lagi, aku tak mengenal siapa gerangan dirinya
Hanya imajinasi liar yang coba mereka-reka
Interpretasi dari siluet
Yang terbentuk karena pancaran mentari pagi
Aku masih penasaran
Mungkin kami akan cocok
Dengan selera dan model senjata yang sama
Mungkin dia bisa menjadi teman ngobrol yang asyik
Muangkin juga partner yang solid
Dalam mengarungi pertempuran yang sebenarnya
Diantara kumpulan para serdadu muda aku bertanya
Gerangan dari ruang sebelah