Dewasa ini, penggunaan prinsip dasar akuntansi dalam dunia bisnis telah menjadi sebuah keniscayaan. Bahkan, akuntabilitas menjadi dasar bagi para stakeholder untuk menilai kesehatan dan kinerja perusahaan. Proses pencatatan transaksi, pengidentifikasian, pengelompokan, dan interpretasi laporan keuangan akan mengahsilkan sebuah informasi mengenai kondisi, histori, dan prediksi unit usaha yang digunakan sebagai konsideran dalam pengambilan keputusan. Mengapa transaksi harus dicatat? Ini tak lain karena fitrah manusia yang mempunyai sifat salah dan mudah lupa. Untuk mengantisipasinya diperlukan evidence(bukti fisik), sehingga saat sifat lupa itu muncul dan memori tentang transaksi sudah terhapus, masih ada catatan sebagai pengingat. Sehingga dengan demikian, dapat terpenuhi kewajiban dan hak dari masing-masing pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.

Akuntansi baru berkembang pesat pada abad 20. Namun ternyata, Allah telah terlebih dahulu mengingatkan urgensi pencatatan dalam setiap transaksi sekitar 1400 tahun yang lalu. Hal ini dapat dilihat dari QS. Al Baqarah: 282

282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

[179]. Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.

Demikianlah, bahkan hal sampai transaksi muamalah pun diatur sedemikian detailnya oleh Allah, menunjukkan betapa Islam komplit mengatur kehidupan para pemeluknya. Dalam teori akuntansi kontemporer-yang secara otomatis dipelopori oleh Barat, dikenal prinsip konservatisme (kehati-hatian) dan full disclosure (pengungkapan transaksi/laporan secara menyeluruh), yang bermaksud untuk menghilangkan keragu-raguan dan penyampaian informsi secara jujur. Dan hal itu semua sudah di akomodir dalam ayat di atas secara implicit. Sungguh, Islam luar biasa…